20 Agustus 2009

SEJARAH BANYUWANGI





Legenda Kota Banyuwangi


Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.

“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.

“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.

Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.

Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping. “Tuanku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraduan istrinya. Dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh Raden Banterang kepada istrinya. “ Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.

Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.

“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda tolak!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.

Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.

Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.




Sejarah Perjuangan

Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).

Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).
Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).

Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat18 yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.



Sumber:
e-smartschool.com yang diambil dari elexmedia
sars4world
wongsmile.blogspot.com



Kunjungi PUSAT BUDAYA BANYUWANGI, untuk detailnya.
Baca Selengkapnya >>

PETIK LAUT MUNCAR




Sekilas


Dalam tiap bulan Muharam atau Syuro dalam penanggalan Jawa, bukan hanya petani, nelayan pun menggelar ritual untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan. Waktu pelaksanaan petik laut tiap tahun berubah karena berdasarkan penanggalan Qamariah dan kesepakatan pihak nelayan. Biasanya digelar saat bulan purnama, karena nelayan tidak melaut, mengingat pada saat itu terjadi air laut pasang

"Tujuan utama diadakannya ritual petik laut adalah untuk untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan sekaligus ungkapan terima kasih kepada Tuhan."

Di Muncar ( sekitar 35 kilometer dari kota Banyuwangi ), ritual ini berkembang setelah kehadiran warga Madura yang terkenal sebagai pelaut. Tak mengherankan, jika petik laut selalu dipenuhi ornamen suku Madura. Salah satunya, seragam pakaian Sakera, baju hitam dan membawa clurit, simbol kebesaran warga Madura yang pemberani.

Seragam Sakera tersebut disiapkan khusus untuk upacara dan hanya dipakai sekali, jika ada upacara adat lain atau petik laut tahun depan, seragam harus dibuat lagi ,demi ke-sakralan upacara. Petugas Sakera dipilih yang berbadan besar. Biasanya mereka berpenampilan sangar dan angker. Dengan kumis tebal dan gelang besar, Sakera juga diharuskan berpenampilan lucu.
Sakera juga menjadi pengaman jalanya ritual. Mereka selalu berjalan di depan mengawal sesaji dari lokasi upacara ke tengah laut. Mereka mengatur warga yang ingin berebut naik perahu. Sakera mirip Pecalang di Bali. Sesepuh adat juga mengenakan baju Sakera, serba hitam. Bagian dalam kaus loreng merah putih. Udengnya batik merah tua.

Bagi nelayan Muncar, petik laut adalah gawe besar yang tidak boleh ditinggalkan. Hari yang dipilih bulan purnama, tepat tanggal 15 di penanggalan Jawa.


Prosesi Ritual

Ritual diawali pembuatan sesaji oleh sesepuh nelayan. Mereka adalah keturunan warga Madura yang sudah ratusan tahun turun-temurun mendiami pelabuhan Muncar. Disiapkan perahu kecil ( perahu sesaji ) dibuat seindah mungkin mirip kapal nelayan yang biasa digunakan melaut. Pada malam harinya, di tempat perahu untuk sesaji dipersiapkan dilakukan tirakatan. Di beberapa surau atau rumah diadakan pengajian atau semaan sebelum perahu sesaji dilarung ke laut.

Perahu diisi puluhan jenis hasil bumi dan makanan yang seluruhnya dimasak keluarga sesepuh adat. Jenis makanan berbagai jajanan, nasi tumpeng dan buah-buahan, ditata rapi di perahu kecil tadi. Sesaji yang sudah jadi disebut gitek.

Pada hari yang ditentukan, ratusan nelayan berkumpul di rumah sesepuh adat sejak pagi. Mereka menggunakan baju khas Madura sambil membawa senjata clurit. Menjelang siang, sesaji diarak menggunakan dokar menuju pantai. Sepanjang iring-iringan, dua penari Gandrung ikut mendampingi. Bunyi gamelan Gandrung mengalun indah.

Nelayan menari sambil mengacungkan senjata cluritnya. Di depannya, dukun membawa abu kemenyan. Sambil melantunkan doa, dukun menyebarkan beras kuning simbol tolak bala.

Ribuan warga berdiri di sepanjang jalan mengamati perjalanan sesaji ( ider bumi ). Begitu lewat, warga berhamburan mengikuti di belakang menuju pantai. Arak-arakan berakhir di tempat pelelangan ikan ( TPI ), yang dihadiri jajaran Muspida Banyuwangi dan pejabat setempat.

Sesaji tiba disambut enam penari Gandrung. Setelah doa, sesaji diarak menuju perahu. Warga berebut untuk bisa naik perahu pengangkut sesaji. Namun, petugas membatasi penumpang yang ikut ke tengah.

Sebelum diberangkatkan, kepala daerah diwajibkan memasang pancing emas di lidah kepala kambing. Ini simbol permohonan nelayan agar diberi hasil ikan melimpah.

Menjelang tengah hari, iring-iringan perahu bergerak ke laut. Bunyi mesin diesel menderu membelah ombak. Suara gemuruh lewat sound-system menggema di tiap perahu.

Dari kejauhan barisan perahu berukuran besar bergerak kencang. Hiasan umbul-umbul berkibar menambah suasana makin sakral. Begitu padatnya perahu yang bergerak, sempat terjadi beberapa kali tabrakan kecil.

Iring-iringan berakhir di sebuah lokasi berair tenang, dekat semenanjung Sembulungan. Kawasan ini sering disebut Plawangan. Seluruh perahu berhenti sejenak. Dipimpin sesepuh nelayan, sesaji pelan-pelan diturunkan dari perahu. Teriakan syukur menggema begitu sesaji jatuh dan tenggelam ditelan ombak.

Begitu sesaji tenggelam, para nelayan berebut menceburkan diri ke laut. Mereka berebut mendapatkan sesaji. Nelayan juga menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. "Kami percaya air ini menjadi pembersih malapetaka dan diberkati ketika melaut nanti," kata Mat Roji, sesepuh nelayan Muncar.

Dari Plawangan, iring-iringan perahu bergerak menuju Sembulungan. Di tempat ini, nelayan kembali melarung sesaji ke dua kalinya. Hanya, jumlahnya lebih sedikit. Sebuah sasaji ditempatkan di nampan bambu dilarung pelan-pelan. Konon ini memberikan persembahan bagi penunggu tanjung Sembulungan.

Selesai larung sesaji, pesta nelayan dilanjutkan di pantai Sembulungan. , ke Makam Sayid Yusuf, beliau adalah orang pertama yang membuka daerah tersebut. Disinilah biasanya tari Gandrung dan gending-gending klasik suku Using di pentaskan, hingga sore hari. Di tempat ini para nelayan juga mempersembahkan sesaji. Ritual diakhiri selamatan dan doa bersama.

Ritual petik laut wajib menghadirkan dua penari Gandrung yang masih perawan. Konon, ini berkaitan ritual petik laut pertama kali di Tanjung Sembulungan. Kala itu, seorang penari Gandrung mendadak meninggal dan dimakamkan di pinggir pantai. Sejak itu, petik laut wajib menghadirkan penari Gandrung. Memilih penari Gandrung yang berani ikut ke tengah laut dan mendampingi sesaji tidak gampang dan melalui seleksi khusus. Gandrung yang ikut mengarak sesaji hanya boleh sekali diundang. Tahun berikutnya akan diganti Gandrung lain.

Di sepanjang perjalanan, di atas perahu penari terus melenggang diiringi gamelan. Mereka melantunkan gending-gending Using. Isinya ungkapan suka-cita perayaan petik laut. Puluhan nelayan yang mengiringi gandrung ikut menari di atas perahu.

Biasanya sepulang pulang dari sembulungan perahu nelayan yang akan mendarat di guyur dengan air laut yang di gambarkan sebagai guyuran Shang Hyang Iwak, sebagai Dewi laut.

Selain di Muncar, nelayan di pantai Grajagan, Pancer, dan Bulusan juga menggelar ritual petik laut pada Muharam.


Sumber :
arixs_cyber tokoh
Irul Hamdani - detik Surabaya
album.banyuwangikab.go.id
www.analisadaily.com
hatisamudera


Kunjungi PUSAT BUDAYA BANYUWANGI, untuk detailnya.
Baca Selengkapnya >>

ANGKLUNG CARUK






Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia, terbuat dari batang pohon bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan ( bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu ) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar.

Sejarah Angklung
Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung Gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Bahkan di Cirebon, terdapat Angklung Bungko yang dibuat Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, 600 tahun yang lalu.

Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung dan calung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung ( bambu berwarna hitam ) dan awi temen ( bambu berwarna putih ). Purwa rupa alat musik angklung dan calung mirip sama; tiap nada ( laras ) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan ( batangan ) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar, dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras ( nada ) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro/ slendro dan pelog.

Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri/ Nyai Sri Pohaci turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur, serta upaya nyinglar ( tolak bala ) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Perenungan masyarakat Sunda dalam mengolah pertanian ( tatanen ) terutama di sawah dan huma dahulu, telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci.

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung dan calung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing ( tari ) yang ritmis ( ber-wirahma ) dengan pola dan aturan- aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi saat mengarak padi ke lumbung, juga pada saat-saat mengawali menanam padi ( di Jawa Barat disebut ngaseuk ). Biasanya tradisi/ kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran.

Keterangan sejarah tertua mengenai angklung adalah dipergunakannya waditra ( alat ) ini sebagai musik perang Kerajaan Sunda dalam kancah Perang Bubat tahun 1357. Selama perang terjadi, angklung menyebar hingga ke Jawa Timur. Dikisahkan dalam Negarakertagama, saat Hayam Wuruk berkunjung ke Jawa Timur tahun 1359, ia disambut alunan angklung yang dimainkan rakyat. Angklung lalu menyebar ke Banyuwangi, terlihat dengan adanya angklung caruk, hingga ke Bali, dengan adanya cumang kirang, alat musik logam yang identik dengan angklung.

Pada abad ke-17, Sultan Ageng yang mencintai kesenian, kerap menggelar kesenian angklung di Keraton Banten. Para pemainnya berasal dari Banten dan Bali. Pada masa ini, angklung menyebar hingga ke Kalimantan dan Sumatra. Saat Belanda menyerang Banten, Sultan Ageng mengerahkan rakyatnya untuk melawan. Untuk membakar semangat juang, angklung digunakan sebagai musik perang. Lagu perang yang terkenal berjudul Balagajur. Sayang, perlawanan itu dipatahkan dan Banten takluk pada Belanda. Sejak itu, angklung dilarang dimainkan karena suaranya yang dimainkan bersama-sama dinilai sakral dan dapat membangkitkan semangat perlawanan rakyat. Itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Pada tahun 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana. Perkembangan mengagumkan alat musik angklung sendiri ( baik bentuk ataupun nadanya ), sampai saat ini tidak lepas dari jasa Daeng Soetigna , Udjo Ngalagena, Obby A.R. Melalui tokoh-tokoh inilah, alat musik angklung lebih dikembangkan dan akhirnya bisa dikenal oleh hampir di seluruh dunia.


Angklung Di Banyuwangi

Tahun 1942, masa penjajah Jepang masuk Indonesia, saat itu di Banyuwangi, tembang using ( lagu Banyuwangi ) memasuki babak baru. Muncul kreasi baru, yakni munculnya instrumen angklung. Sebenarnya, musik angklung sudah ada sejak zaman kerajaan Blambangan. Namun, instrumen ini lebih banyak dimainkan untuk mengiringi berbagai jenis tarian. Angklung yang digunakan mengiringi tembang using ini ditemukan Mohamad Arif, pemusik andal dari Kelurahan Temenggungan, Banyuwangi. Pada dasarnya instrumen angklung tidak jauh beda dengan gamelan gandrung. Bedanya, musik angklung ditambahi beberapa alat musik lain seperti saron, slentem, dan gong besar.

Sebagai kreasi baru, musik angklung diterima dengan baik semua kalangan masyarakat using. Hal ini ditandai munculnya beberapa tembang baru seperti " Genjer-Genjer " dan " Nandur Jagung ". Tembang-tembang ini bercerita tentang paceklik berkepanjangan di bumi Blambangan akibat kejamnya penjajahan Jepang.

Jenis - jenis kesenian angklung yang berkembang di Banyuwangi ( Angklung Daerah ) dewasa ini yaitu :
1. Angklung Paglak, pementasannya dilakukan di atas paglak ( gubuk kecil ) di tengah sawah.
2. Angklung Caruk, pementasan dua grup angklung yang dilaksanakan di atas panggung untuk menunjukkan kemampuan dan keterampilan masing-masing.
3. Angklung Tetak, pengembangan dari angklung paglak. Dilakukan perubahan bahan instrumen dan nada.
4. Angklung Dwi Laras, merupakan hasil pengembangan dari angklung tetak, penggabungan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro.
5. Angklung Blambangan, pengembangan terakhir angklung di daerah Banyuwangi.

Beberapa gending yang biasanya dimainkan dalam angklung daerah antara lain Jaran Ucul, Tetak-tetak, Gelang Alit, Mak Ucuk, Sing Duwe Rupo, Congoatang, Ulan Andung-andung, Mata Walangan, Ngetaki, Selendang Sutera, Padhang Ulan, dan sebagainya. Instrumen pengiring dalam kesenian jenis ini setidaknya terdiri dari angklung ( 2 set/unit ) saron ( 4 rancak @ 10 buah anak saron ), peking ( 2 rancak ), slenthem ( 2 rancak ), kethuk ( 2 biji ), gong ( 2 rancak ), gendang ( 2 rancak ), biola, seruling, dan terompet. Dalam seni angklung daerah diperlukan 10 orang untuk memainkan alat musik, beberapa orang penari, dan satu orang tua atau pendamping. Pada umumnya dalam 1 group angklung daerah jumlah pemainnya berkisar antara 20 - 25 orang pemain.


Angklung Caruk

Seni Angklung Caruk berasal dari jenis kesenian Legong Bali. " Caruk " dalam bahasa Using berarti " temu ". Kata dasar itu bisa diucapkan " Kecaruk " atau " Bertemu ". Kata " Angklung Caruk " artinya adalah dua kelompok kesenian angklung yang dipertemukan dalam satu panggung, saling beradu kepandaian memainkan alat musik berlaras pelog itu, dengan iringan sejumlah tembang Banyuwangian tujuannya untuk memperebutkan gelar sebagai group kesenian angklung yang terbaik. Meski tidak ada aturan secara tertulis, kedua kelompok kesenian itu sejak puluhan tahun sudah memahi aturan yang menjadi kesepakatan. Sehingga, mereka tidak ada yang curang, tidak ada yang marah saat kurang mendapatkan respon atau aplaus dari penonton. Kecepatan irama musik dan lagu-lagu yang dimainkannya sangat dipengaruhi oleh nuansa musik angklungritmis dari Bali. Namun dalam kesenian ini terdapat juga perpaduan antara nada dan gamelan slendro dari Jawa yang melahirkan kreativitas estetik. Dalam pertunjukan seni angklung caruk juga disajikan beberapa tarian yang biasanya dimainkan oleh penari laki-laki. Jenis-jenis tarian tersebut antara lain tari jangeran, tari gandrungan, cakilan, tari kuntulan, dan tari daerah Blambangan. Instrumen musik angklung caruk terdiri dari seperangkat angklung ( dua unit angklung ), kendang ( dua buah ), slenthem ( dua buah ), saron ( dua buah ), peking ( dua buah ), kethuk ( dua buah ), dan gong ( dua buah ).

Tradisi Angklung Caruk adalah gambaran betapa tingginya apresiasi warga Banyuwangi terhadap musik daerahnya. Dalam angklung caruk itu, pertama setiap kelompok masing-masing membawakan " larasan " yang menjadi andalan dengan seorang penari pria yang disebut BADUT. Setelah selesai dan sesuai kesepakatan waktunya, maka giliran kelompok lain melakukan hal yang sama. Pada sesi berikutnya adalah Adol Gending, yaitu kelompok A misalnya, membawa intrumen beberapa ketukan dari sebuah lagu, untuk ditebak kelompok B. Apabila kelompok B sudah tahu, maka diberi kesempatan memotong dengan cara " ngosek " atau memukul gamelan secara tidak beraturan. Jika itu sudah terjadi, maka kelompok A harus menghentikan intrumennya dan memberikan kesempatan kepada kelompok B untuk meneruskan intrumen itu. Jika ternyata masih salah, maka kelompok A akan mengambil kembali dengan " ngosek " kemudian meneruskan hingga tuntas. Ini juga berlaku kepada badut, mereka juga diadu variasi tariannya dengan lagu-lagu andalan yang dimiliki kelompok. Dalam tempo cepat, baik tarian maupun pukulan instrumennya tidak boleh ada yang salah.

Itulah gambaran sedikit tentang Angklung Caruk Banyuwangi yang penuh sportivitas. Selain masing-masing membawa supporter ( pendukung ), ada juga penonton netral yang siap memberikan aplus jika memang penampilan kelompok itu bagus dan memukau. Namun bagi mereka yang kurang beruntung, caci makian dan ejekan penonton tetap diterimanya, sebagai pemicu agar terus melakukan latihan dan meningkatkan insting/ kepekaan bermusiknya.

Berdasarkan cerita para penabuh tua , dulu pentas Angklung Caruk sering melibatkan kekuatan supranatural untuk saling menjatuhkan lawan. Tetapi sekarang sudah makin positif sebab para supporter sudah sportif menghadapi kekalahan dan kemenangan. Disana juga selalu dihadirkan ahli-ahli angklung yang berwibawa. Dengan kehadiran para ahli ini maka kelompok-kelompok angklung dan supporternya tidak berani curang.

Semangat " caruk " dalam kehidupan sehari-hari, seharusnya menjadi contoh bagi Wong Using kebanyakan. Selalu mempersiapkan segala sesuatu, seperti layaknya para " panjak " angklung yang latihan setiap hari, menjelang pentas " caruk ". Sehingga, saat berlaga di panggung tidak akan mengecewakan. Jika itu semua sudah dilakukan maksimal, maka harus menerima apapun hasilnya. Cacian atau " gojlokan " penonton, bukan sebagai hinaan. Melainkan sebagai cambuk, agar usaha dan persiapan dilakukan lebih baik lagi. Kita juga harus menerima kenyataan, jika lawan caruk ( orang lain ) ternyata lebih unggul dan patut mendapatkan pernghargaan. Sakit hati dan iri terhadap kelebihan yang dimilki orang lain, bukan sikap orang Using. Bersaing boleh, tetapi harus dilakukan secara sportif. Sepeti sikap para Panjak, Badut dan penonton Angklung Caruk pada waktu mereka tampil.

Dulu di Banyuwangi ada kelompok Angklung yang terkenal, yaitu Angklung Pasinan Singojuruh, Angklung Mangir, Rogojampi dan Angklung Badas, juga Rogojampi. Apabila kedua kelompok Angklung itu dipertemukan dalam satu panggung, bisa dipastikan penontonnya membludak. Mereka kebanyakan penonton netral, tidak mewakili kelompok manapun. Namun mereka akan memberikan aplaus, apabila penampilan salah satu dari mereka yang terlibat " caruk " itu memang bagus. Cacian dan " pisuhan " khas Banyuwangi, meluncur untuk mengomentari penampilan dari peserta " caruk " yang tidak maksimal atau sering melakukan kesalahan. Namun tidak ada yang marah, apalagi bereaksi berlebihan.

Angklung Caruk Banyuwangi sering mengikuti acara dan festival budaya nasional, salah satunya mengikuti Pawai Budaya Nusantara yang diselenggarakan di Istana Merdeka yang prosesinya dari depan panggung kehormatan halaman depan Istana Merdeka ( Jalan Merdeka Utara ) menuju Jalan Medan Merdeka Barat dan berakhir di kawasan Monas.




Sumber :
www.sunda.org

id.wikipedia.org
www.east-java.com
www.bpsnt-jogja.info

www.angklung-udjo.co.id
Forum Bebas Indonesia
vindisweet.blogspot.com
padangulan.wordpress.com
angklung-web-institute.com

hasansentot2008.blogdetik.com
--- Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung ---



Kunjungi PUSAT BUDAYA BANYUWANGI, untuk detailnya.
Baca Selengkapnya >>

BARONG KEMIREN






Bagi masyarakat Using/Osing, barong adalah sebuah simbol kebersamaan. Ritual apa pun di daerah Banyuwangi hampir tidak pernah lepas dari tarian ini. Kata 'barong' berasal dari bahasa Using, bareng artinya bersama.

Sejarah Barong

Ada banyak versi tentang sejarah barong di Banyuwangi. Namun, maknanya tetap sama, " kebersamaan "

Wujud Sakral Barong
Ada yang mengisahkan, barong bermula dari pertarungan dua bangsawan sakti dari Bali dan Blambangan. Mereka, Minak Bedewang dan Alit Sawung. Tanpa penyebab jelas, keduanya terlibat pertarungan hebat. Mereka bertarung tanpa henti hingga jangka waktu lama. Tak satu pun yang terluka. Masing-masing menggunakan wujud sakti yang mengerikan, seekor harimau besar dan burung garuda. Dua perwujudan ini bertarung dahsyat. Suaranya menggelegar persis halilintar. Meski saling serang, kedua kesatria itu tetap sama kuatnya. Hingga munculah suara aneh dari langit. Suara tanpa rupa itu mengingatkan agar menghentikan pertempuran. Keduanya diminta berdamai. Akhirnya, kedua wujud menyeramkan itu bersatu. Sejak itu, masyarakat Using memiliki wujud barong sebagai simbol kebersamaan. Diyakini, barong bisa mengusir pengaruh jahat,penyakit dan segala bahaya. Hingga kini, tarian Barong dan barong sangat disakralkan. Sebelum ditarikan, barong wajib diberi ritual khusus. Jika tidak, akan berbahaya bagi penari dan warga sekitar. Barong juga tidak sembarangan ditarikan. Ditarikan terutama untuk ider bumi atau selamatan desa. Nilai mistis barong tetap dijaga. Mereka yang berhak menari barong adalah orang pilihan alam.

Kesenian Barong Versi 1
Menurut Hasnan Singodimayan, budayawan setempat, kesenian barong Kemiren bercerita tentang gadis cantik bernama Ja'rifah, yang dijaga hewan bertubuh besar bermuka buruk--yang kemudian disebut barong--melawan penjajah. "Barong sangat setia kepada tuannya sehingga dianggap simbol kepahlawanan," tutur Hasnan.Kesenian barong Kemiren mirip kesenian barong di Bali. Kemiripan ini, menurut Hasnan, sangat wajar karena kedekatan kultur yang saling mempengaruhi dalam sejarah hubungan antara Bali dan Banyuwangi. Bedanya, secara fisik ukuran barong Bali lebih besar dan tidak punya sayap. Menurut Hasnan, ada beragam versi tentang sejarah barong Kemiren. Ada yang menyebut barong bukan kesenian asli Jawa, melainkan dari Bali. Kesenian ini dibawa dan dikembangkan warga Bali yang terpaksa bermukim di Banyuwangi karena terjadi kekacauan di Bali.

Kesenian Barong Versi 2
Versi lain menyebutkan kesenian barong berasal dari Cina, yang masuk Jawa pada zaman Majapahit. Ada kemiripan antara barong dan tari Singa Cina, yang berkembang pada zaman Dinasti Tang pada abad VII-X.

Kesenian Barong Kemiren
Barong Kemiren adalah kesenian asli dari Desa Kemiren,Glagah. Salah seorang budayawan asli Kemiren, Andi (45), menuturkan barong Kemiren hasil ciptaan asli warga Kemiren kuno. Namanya, Sanimah abad ke-16. Barong kuno itu bentuknya jelek dan buruk rupa. Barong kuno itu kemudian diwariskan kepada anaknya, Tompo ( Eyang Buyut Tompo/ Mbah Tompo ).

Selama penjajahan Belanda, Tompo mengungsi ke kota sambil membawa barong. Di kota, Tompo bertemu Sukip dan Win yang ahli membuat barong. Karena terkesan, Tompo yang banyak memiliki uang meminta dua ahli barong itu untuk membuatkannya. Lahirlah barong baru yang lebih bagus. Usai perjuangan perang melawan Belanda, Tompo kembali ke Kemiren sambil membawa barong barunya. Sejak itu, barong memasyarakat di Kemiren. Barong Tompo kemudian diwariskan ke Surtaman dan Samsuri. Dari sinilah kesenian Barong tumbuh hingga sekarang.

Lain lagi halnya menurut penuturan Sucipto tentang barong Kemiren, pada sekitar tahun 1647 Mbah Tompo bermimpi diminta membuat barong. Bersama temannya, Mbah Soeb, keduanya melaksanakan perintah dalam mimpi itu. "Anehnya, ketika membuat barong, tangan mereka seperti ada yang menggerakkan. Jadilah bentuk barong seperti barong yang dikenal sekarang," tutur Ketua Barong Tresno Budoyo ini. Barong yang dibuat Mbah Tompo dan Soeb inilah yang terus dipakai sampai sekarang. Diperkirakan usia barong sekitar 361 tahun. Meski usianya sudah berabad-abad, fisik barong tetap utuh. Barong ini harus disimpan oleh keturunan Mbah Tompo, yang sekarang sudah sampai pada generasi keempat. Konon saat itu ada cerita lain lagi, di desa Kemiren ada pertunjukan Seblang yang dimainkan Embah Sapua. Ketika penari seblang kesurupan, terjadilah dialog dengan Eyang Buyut Tompo agar pementasan seblang dipindah ke desa Ole-Olean ( Olehsari ), sedangkan di desa Kemiren dipentaskan seni barong. Sejak saat itu ada ketentuan yang harus dipegang teguh oleh masyarakat, yakni masyarakat Desa Kemiren tidak diperkenankan mementaskan seblang, dan sebaliknya masyarakat Olehsari tidak boleh mementaskan barong. Seni Barong yang diciptakan BuyutTompo ini didasari oleh leluhur masyarakat Kemiren, Eyang Buyut Cili, yakni tokoh yang dimitoskan dan dianggap sebagai danyang atau penjaga desa Kemiren. Oleh karenanya setiap pementasan, yakni tatkala barong mengalami kesurupan yang masuk/merasuki adalah Eyang Buyut Cili.


Tari Barong Di beberapa Prosesi Ritual Di Kemiren

Pada awalnya, seni ini merupakan seni pertunjukan yang bersifat sakral dan pementasannya dilaksanakan hanya pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat upacara bersih desa yangdiselenggarakan pada minggu pertama bulan Haji (Besar). Tetapi, dewasa ini seni barong sudah menjadi pertunjukan yang bersifat hiburan sehingga bisa dipentaskan pada saat pesta perkawinan, khitanan, atau pergelaran-pergelaran seni lainnya. Kesenian ini merupakan seni rakyat yang secara khusus mengandung ciri khas Using, baik yang menyangkut musik, tari, dialog, maupun ceritanya

Tari Barong biasanya diiringi beberapa gamelan khas, seperti kendang, kecrek, gong dan ketuk. Sekilas, gamelan Barong mirip Kuda Lumping dan Reog Ponorogo. Bedanya, Barong tidak menggunakan terompet. Personal Barong 12 orang, terdiri atas dua penari Barong, dua penari berbentuk ayam. Barong ditarikan dua orang, di kepala dan di bagian ekor. Gending pengiring Barong sarat petuah kehidupan. Musiknya rancak seperti orang bertarung sebagai simbol kebersamaan. Ada sekitar 20 jenis gending pengiring Barong. Di antaranya, kembang jeruk, prejengan dan kopyahan. Dalam sekali tarian membutuhakan waktu sekitar 2 jam. Tari Barong diakhiri tari Ayam Bertarung, simbol suasana kemenangan.

Dalam Pesta Perkawinan
Sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat setempat menanggap barong Kemiren dalam hajat apa pun. Dengan menanggap barong, sang pengantin berharap rumah tangganya selalu bahagia dan mendapat banyak keberuntungan. Masyarakat Kemiren pun menjadikan acara ini sebagai hiburan yang tak pernah lekang.
Saat prosesi biasanya barisan macan-macanan berada di depan barong, di belakang barong, sepasang pengantin duduk di atas kereta kuda. Iring-iringan diarak berkeliling desa dan berakhir di rumah sang pengantin. Tontonan ini disebut arak-arakan Barong Kemiren, yang ditanggap dalam hajat perkawinan tradisional di desa yang berjarak 6 kilometer dari Kota Banyuwangi itu..

Barong Kemiren bisa juga ditanggap semalaman suntuk. Dengan tiga tahap cerita, barong dimainkan . Barong Kemiren tak sekadar menjadi kesenian yang ditanggap untuk menghibur. Oleh warga desa, yang sebagian besar petani, barong sangat disakralkan karena dipercaya memiliki kekuatan magis arwah nenek moyang.

Upacara Bersih Desa
Pemangku adat Desa Kemiren, Serad, bercerita, barong dipakai dalam upacara bersih desa, yang dilakukan setiap setiap tanggal 2 Syawal atau Lebaran ( idul Fitri ) kedua, yang disebut upacara Idher Bumi. Barong dengan tabuhan gamelan mengelilingi desa dan ditutup dengan makan bersama di sepanjang jalan desa.
Dalam acara Ider Bumi ada empat jenis tarian Barong yang ditampilkan dan mempunyai cerita sendiri-sendiri. Keempat jenis Barong tersebut adalah Barong Tua, Barong Remaja, Barong anak-anak dan Barongsai. Keempat jenis Barong adalah sebagai lambang generasi-generasi yang menghuni desa Kemiren. Diikutkannya Barongsai dalam acara tersebut karena di desa Kemiren yang terkenal dengan Kampung Using ternyata ada etnik lain yang menghuninya, yaitu Tionghoa.

Acara serupa dilaksanakan setiap tanggal 1 bulan Haji dengan membuat seribu tumpeng atau dikenal dengan selamatan "Tumpeng Sewu". "Ritual ini sebagai ucapan syukur masyarakat karena diberikan rejeki berlebih," Serad menambahkan. Barong sebagai sarana ritual kesuburan tampak pada makanan yang disajikan, yakni makanan hasil bumi, seperti nasi tumpeng dan sayur, jajan pasar, pala kependhem, pala gumandhul, dan pala kesimpar. Selain Ritual ini dilaksanakan untuk menghormati danyang desa Kemiren agar kemakmuran desa tetap terjaga dan terjauhkan dari bencana.

Tersebutlah riwayat 20 tahun lalu. Upacara ini pernah ditinggalkan karena hujan lebat. Beberapa hari kemudian, istri salah satu ahli waris barong kesurupan. Ia berteriak-teriak marah karena Idher Bumi tidak digelar. Tidak lama kemudian, bayi wanita itu meninggal. "Kami takut kalau sampai ritual Idher Bumi tidak digelar," kata Serad.

Kesakralan Barong juga dimanfaatkan untuk pengobatan penyakit. Obat diambilkan dari kemenyan yang dibakar di bawah tubuh barong, lalu dilarutkan dalam air, yang dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit, mulai buta hingga sakit perut.mulai pukul 21.00 sampai 06.00 keesokan harinya.



Barong Dan Regenerasi

Adalah Sucipto, 45 tahun, lelaki kelahiran Banyuwangi itu, tengah berupaya melakukan regenerasi agar kesenian itu tak punah. Melihat pemain kesenian barong yang kian uzur usianya, membuatnya resah. Tanpa menghilangkan keasliannya, ia mempermudah pakem kesenian itu agar bisa memancing minat kalangan muda. "Saya tidak mau berkutat pada pakem. Saya bikin tarian-tarian dan cerita sendiri yang lebih mudah dihafal anak muda. Waktu bermainnya saya singkat menjadi satu setengah jam saja," kata Sucipto, yang sudah bermain barong sejak anak-anak. Dari tiga tahap cerita pada barong, Sucipto meringkasnya menjadi satu tahap saja. Isi cerita lebih bermuatan pesan moral, mengajak orang saling menghormati dan tidak mengambil hak orang lain. Benar saja. Lebih dari 50 remaja Desa Kemiren menawarkan diri bermain barong. Sucipto memilih 36 orang. Pada 21 Mei 2007, terbentuklah Barong Lancing ( perjaka ) atau Barong Sapujagat, yang anggotanya berasal dari remaja usia SMP dan SMA. Ia juga membentuk Barong Cilik dari kalangan TK dan SD. Semua peralatan disesuaikan dengan kemampuan anak-anak ini. "Saya orang Kemiren. Kalau bukan saya, siapa yang mau peduli meneruskan barong Kemiren?" tutur Ketua Barong Cagar Budoyo Kemiren ini. Ternyata upaya Sucipto mendapat apresiasi masyarakat. Terbukti beberapa waktu yang lalu, pernah Barong Lancing diundang Gubernur Jawa Timur Imam Utomo menggelar pentas dalam sebuah acara di Surabaya.

Upaya melestarikan Kesenian Barong di Banyuwangi makin ditingkatkan dengan diadakannya Festival Tari Barong untuk kategori kelompok dewasa maupun Anak-anak dengan penilaian kreasi gending dan kreasi seni barong yang ditampilkan.

Sebelumnya di Kabupaten Banyuwangi yang masih mempertahankan orisinilitas kesenian barong kurang lebih berjumlah empat kelompok, yaitu kelompok Seni Barong Kemiren,Mandalikan, Mangli, dan Jambersari. Akan tetapi, dari keempat kelompok itu hanya kelompok seni Barong Kemiren saja yang masih utuh "keUsingannya" dan sering melakukan pementasan. Akhirnya Barong Kemiren menjadi tarian khas Banyuwangi, bahkan salah satu ikon pariwisata tanah Blambangan. Barong Kemiren pernah pentas di Osaka, Jepang, dalam festival tradisional dunia.




Sumber :
ikaningtyas
www.east-java.com
www.LareOsing.org
www.bpsnt-jogja.info
www.brangwetan.com
ajenkmoe.multiply.com

kupu-kupu.otodidak.info

www.cybertokoh.com by arixs



Kunjungi PUSAT BUDAYA BANYUWANGI, untuk detailnya.

Baca Selengkapnya >>

19 Agustus 2009

KUNTULAN





Apa itu Hadrah Kuntulan ?

Hadrah Kuntulan yang juga disebut kundaran, merupakan salah satu dari sekian seni tradisi yang masih bertahan hingga kini. Berbagai perubahan yang mewarnai perjalanan kuntulan menunjukan kecerdasannya dalam menghadapi setiap perubahan. Identifikasi sebagai karya seni bernuansa Arab - Islam melekat pada kesenian ini pada masa awal kemunculanya. Sperti halnya Ujrat, Tunpitujat dan pembacaan al-Barjanji dengan diiringi alat musik Gembrung yang pernah ada Banyuwangi seperti catatan seorang antropolog pada tahun 1926, John Scholte. Karena itulah pada mulanya pertunjukan seni ini di dominasi oleh laki-laki. Pertemuanya dengan kesenian asli banyuwangi seperti Gandrung, Damarwulan, dan Trengganis serta tarian lainnya merubah hadrah kuntulan menjadi kesenian yang unik dan khas.

Tidak hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian gurun. Kehadirannya juga menambah perbendaharaan dan warna kesenian tradisional di tanah air. Persinggunganya dengan berbagai realitas sosial dan kebudayaan masyarakat banyuwangi membawa kesenian ini ke dalam dinamisasi yang khas dan sekaligus persoalan yang komplek.


Filosofi Burung Kuntul

Sebutan Kuntul sebagai simbol, menurut Sutedjo HN, budayawan Banyuwangi, merupakan representasi dari gaya hidup sosial yang lebih mementingkan kebersamaan, serasa dan sepenanggungan di antara sesamanya. Hal ini di ilhami dari cara hidup burung Kuntul/Bangau yang selalu memanggil teman-temannya dikala mendapatkan makanan.

Pendapat ini ditunjang kondisi pertanian yang ada di Banyuwangi. Kesuburan tanah yang terhampar memberikan kemudahan para petani dalam bercocok tanam. Sambil menunggu tanaman padi memasuki musim panen, para petani di Banyuwangi terbiasa memanjakan diri mereka dengan memainkan Angklung.

Perjalanan hidup yang sulit membangkitkan para seniman daerah merespon dalam bentuk kesenian. Maka Kuntulan sebagai perlambang dari kerukunan masyarakat memberi kesadaran baru pada seluruh masyarakat Banyuwangi agar hidup dalam kebersamaan untuk mewujudkan Banyuwangi yang senasib dan sepenanggungan tanpa ada rasa ingin menguasai tanah warisan leluhur sebagai milik individual.

Nama kesenian yang diambil dari hal-hal di sekitar kehidupan masyarakat ini juga bisa ditemukan dalam beberapa kesenian di Banyuwangi lainnya, seperti Genjer-genjer. Ketika Jepang masuk Banyuwangi, kehidupan masyarakat Banyuwangi mengalamai kekurangan pangan yang cukup parah. Banyak dari penduduk tidak bisa hidup layak seperti sebelumnya. Gambaran kesulitan ini bisa dilihat dari hasil karya seniman setempat, lagu Genjer-genjer yang muncul pada tahun 1942 karya Moh. Arif, memberikan gambaran kesulitan pangan penduduk Banyuwangi sebagai imbas pendudukan Jepang di wilayah Banyuwangi, sehingga tumbuhan Genjer yang tumbuh liar di area persawahan dan tidak menjadi perhatian penduduk, akhirnya dijadikan bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari.


Busana Dan Alat Musik

Pengaruh busana penari gandrung dapat dilihat pada beberapa bagian busana penari kuntulan bersangkutan. Hanya saja ditambahkan kerudung, baju celana tertutup serta ada pengaruh Bali didalamnya. Tangan sang penari juga ditutup kaus tangan berwarna putih, dan kakinyapun tertutup kaus kaki putih. Sekarang busananya banyak mengalami modifikasi alias ubahsuai dari busana semula yang sebenarnya serba putih seperti warna bulu burung kuntul (bangau). Terkadang ada pengaruh Bali yang tercermin dari adanya untaian bunga kamboja ditelinga pemain Kuntulan ini.

Perangkat musik kuntulan sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya sekitarnya dan tak dapat dipungkiri musik dan gerak tari Gandrung (tari rakyat setempat yang menjadi lambang Banyuwangi) juga ikut masuk. Namun irama dasarnya tetaplah sama dengan hadrah lainnya. Selain enam buah rebana sebagai alat musik utamanya (dalam kuntulan baku), ada penambahan-penambahan seperti jidor (semacam drum), beduk besar, beduk kecil, kenong, kluncing (triangle), gong, biola dan kadang keyboard (saat ini) sebagai penguat nada. Selain itu bonang Bali kadang juga dipakai dalam kesenian kuntulan ini. Serta dalam beberapa kesempatan sering ditambahkan angklung caruk sebagai pemanis, dan lagi-lagi sesuai permintaan penonton. Sedangkan irama yang digunakan menurut Rizaldi Siagian seorang pakar etnomusikologi adalah irama silang (cross rhythm) dan poly rhythm atau irama banyak sebagaimana pada gamelan Bali. Ini dimungkinkan karena letak Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali.

Kekhasan lain dalam kesenian hadrah kuntulan atau kundaran ini ialah iramanya yang mempunyai karakter keras,agresif dan menyentak bahkan saat tampil, para pemain musiknya terlihat seolah bahu membahu menciptakan nada yang dinamis dan penuh semangat sehingga wajar kalau disebut musik cadas khas Banyuwangi bahkan sesekali kita harus menutup telinga karena saking begitu keras suaranya, ditambah para pemain jidornya yang kadang seperti kesurupan saat bermain... Lagu-lagunyapun tidak selalu Islami, namun juga banyak memasukkan lagu-lagu daerah dan kadang lagu pop yang sedang populer saat ini.


Sejarah Perjuangan
Pada masa penjajahan Belanda, Islam masuk ke Blambangan (sekarang Banyuwangi). Kedatangan Islam sarat dengan nuansa politik. Tujuan masuknya agama Islam ke Blambangan adalah untuk meredam gerakan masyarakat Blambangan yang terkenal sulit ditaklukan. Ketika Belanda berhasil merebut Blambangan, kebijakan pertama yang diberlakukan adalah mendirikan wilayah kekuasan yang bisa disetir oleh Belanda, lebih halusnya lagi dinormalisisasi dengan serangkaian aturan agama yang menguntungkan kepenguasaannya.

Hasilnya, Raden Mas Alit sebagai bupati pertama beserta para punggawa yang diangkat sekitar tahun 1770-an oleh Belanda diharuskan memeluk agama Islam. Pesan misionaris agama bisa dilacak pula pada sejarah perjalanan kesenian gandrung yang awal-awalnya ditarikan atau dimainkan oleh orang laki-laki. John Scholte, salah seorang antropolog yang pernah meneliti Banyuwangi, menjelaskan bahwa para penari Gandrung setiap saat mengelilingi desa dengan membawa buntalan tas yang dibuat sebagai tempat beras hasil panen-an. Burda, selatun, wak aji, santri molih, tombo ati, ayun-ayun dan tembang lainnya adalah tembang bernuansa agama yang dibawakan. Dengan demikian, disamping membawa misi mempersatukan kembali rakyat Blambangan, Gandrung juga digunakan sebagai alat penyampaian dakwah.

Sekitar tahun 1950 kesenian hadrah muncul. Pada awalnya, Hadrah sangat kental nuansa Islam. Instrumen musik yang mengiringinya adalah Rebana dan Kendang. Penarinya laki-laki dengan bentuk tarian menyerupai tarian Saman dari Aceh. Sedangkan tembang yang dilantunkan adalah baid-baid Burdah.

Pada masa bersamaan arus kesenian Banyuwangi mulai bermunculan, seolah-olah bangkit kembali dari tradisi yang sudah lama diwariskan oleh leluhur, seperti Angklung, Damarwulan, dan Rengganis. Kebangkitan seni ditandai dengan berdirinya organisasi kesenian yang memberikan peluang dan tempat berapresiasi. Pada kepemimpinan presiden Soekarno, Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) memberikan perhatian pada kesenian-kesenian rakyat sebagai muatan perpolitikannya. Seniman-seniman daerah yang bergabung dengan Lekra merasa mendapat angin segar. Mereka kemudian berbondong-bondong mengabadikan dirinya dengan sejumlah karya seni masing-masing dengan mengusung unsur bahasa daerah sebagai ciri khas kesenian Lekra.Kedekatan Lekra berdampingan dengan kesenian yang timbul dari masyarakat Banyuwangi tidak dibarengi oleh lembaga-lembaga kesenian lainnya. Lembaga Kesenian seperti LKN (Lembaga Kesenian Nasional), Lesbumi, dan yang lainnya tidak sekental apa yang telah dilakukan oleh para seniman Lekra. Nasionalisme kedaerahan dengan mengusung bahasa daerah sebagai unsur utama merupakan visi dari seniman Lekra, puluhan lagu berbahasa daerah diciptakan oleh para seniman untuk merespon kondisi sosial saat itu.

Hadrah yang bernuansa Islam sebagai perwujudan dari kesenian agama yang dikembangkan kalangan santri, tidak terlalu mendapat simpati dihati masyarakat, dikarenakan bahasa daerah yang saat itu menjadi sentral perubahan sosial tidak diadopsi sepenuhnya oleh kalangan santri. Faktor lain yang menyebabkan seni Hadrah kurang diminati adalah pola eksklusif kaum santri dengan penduduk di luar golongan santri.
Masa kejayaan Lekra mulai pudar menyusul terjadinya tragedi G 30/S PKI tahun 1965. Tragedi ini tak pelak berimplikasi hebat pada seniman-seniman daerah yang bergabung dalam organisasi Lekra. Setelah peristiwa G 30/S PKI tersebut ketakutan dan kebimbangan menyelimuti kehidupan mereka. Lembaga-lembaga yang bernuansa agama berada diposisi atas angin. Para aktivis seni yang keluar dari Lekra paska 1965 diinternalisasi oleh Lembaga Kesenian Nasional (LKN) untuk melanjutkan kembali apa yang pernah mereka lakukan di Lekra.

Peralihan kekuasaan dari masa Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba) juga membawa dampak pada kesenian daerah. Jika pada masa Orla kesenian Banyuwangi lebih menonjolkan fisinya untuk mengkritisi kondisi sosial dan menjadi milik rakyat sepenuhnya, maka yang terjadi pada masa Orba adalah sebaliknya. Setelah tahun 1970-an kesenian daerah diupayakan pada politik estetik semata. Seni kemudian lebih banyak divisualisasi dalam bentuk gerak tari. Hal ini dilakukan dengan tujuan bahwa kesenian akan mendapat medan artistiknya manakala peraga tubuh bisa dinikmati secara langsung oleh para penonton. Kecenderungan estetika kesenian daerah ini mengarahkan massa untuk selalu menikmati kesenian daerah dimana tanpa sadar masyarakat yang menghadiri kesenian tersebut telah mengadopsi dan meyakini pendidikan pembangunan yang dilancarkan oleh kebijakan Orba. Dengan demikian aparatus Negara dalam tujuannya mendisiplinkan masyarakat dengan seperangkat ideologi disusupkan pada kesenian daerah. Ironisnya pada masa ini kesenian juga mempunyai ketergantungan yang tinggi pada insentif pemerintah.


Kuntulan Saat Ini

Sejarah Hadrah memasuki babak baru pada sekitar tahun 1980-an. Kesenian ini bertransformasi pada bentuknya yang baru yang disebut sebagai Hadrah Kuntulan. Nuansa Arab - Islam yang terkandung di dalamnya berubah mengikuti alur komposisi kedaerahan, isinya pun 50-50 menyesuaikan minat dari masyarakat saat itu. Bukan hanya komposisi isi saja, aransment musikalnya juga ditambahi dengan beberapa alat lainnya. Ada gendang, bonang Bali dan kluncing (triangle) memperjelas nuansa daerah dan agama dalam unsur kesenian kuntulan.

Metamorfosis Hadrah kuntulan masih terus berlanjut. Kundaran kepanjangan dari Kuntulan yang didadar (seni Kuntulan yang diperlebar) merupakan sebutan bagi perkembangan kuntulan pada tahap selanjutnya. Sebenarnya Kundaran hanya sebuah garapan artistik untuk menyempurnakan tampilan hadrah tersebut. "Kundaran itu seperti pertunjukan Jejer Gandrung yang merupakan bagian dari pertunjukan Gandrung. Jadi, Kundaran masih bersifat perbaruan gerak dan isi dari Kuntulan saja, belum bisa dikatakan kesenian tersendiri", tutur Sayun salah satu seniman yang memprakarsai munculnya hadrah Kuntulan. Kundaran sebagai tahapan terakhir perkembangan Kuntulan, mengusung kepentingan bagaimana agar kesenian tersebut makin dinikmati dan dimiliki oleh masyarakat sekaligus memperluas kesadaran beragama yang diapresiasikan pada kepemilikan kesenian itu sendiri.

Menepis ekslusifitas terlepas dari berbagai gesekan dan kontroversi yang mengiringinya, Hadarah Kuntulan kini telah berkembang cukup luas, utamanya di Banyuwangi. "Dulu di Banyuwangi Selatan yang mayoritas masyarakatnya dari suku Jawa, hampir tidak ditemui kesenian hadrah Kuntulan, namun sekarang kondisi tersebut berbalik, wilayah seperti Gambiran dan Bango yang ditempati komunitas Jawa yang dulunya tidak memiliki kelompok kesenian tradisi, malah kemarin mendaftarkan 60 peserta pada festival tari. Songgon, daerah gunung mendaftarkan 300 peserta Kuntulan", jelas Sayun.

Hal ini juga menandakan bahwa Hadrah kuntulan telah diterima oleh masyarakat diluar masyarakat asli Banyuwangi atau Osing/Using. Memang hadrah kuntulan tidak di maksudkan sebagai kesenian eksklusif yang hanya diidentikan dengan daerah Banyuwangi atau suku Osing. Namun, diluar Banyuwangi, kesenian Hadrah Kuntulan lebih dipresepsikan hanya sebagai milik suku Osing.

Bahkan pada sebuah acara di Jakarta, Aekanu Hariyono sebagai ketua dewan pariwisata Banyuwangi, sebagaimana di ceritakanya pada suatu rapat di Dewan Kesenian Blambangan (DKB), merasa perlu menegaskan bahwa kesenian Hadrah Kuntulan yang ada di Banyuwangi tidak semata-mata milik masyarakat Osing. Hanya kebetulan yang tampil kebanyakan keturunan Osing tapi bukan Osing mainded. Hadrah Kuntulan bisa dimainkan oleh lintas agama serta lintas etnik. "Sewaktu penampilan Hadrah Kuntulan di Jakarta kemaren komposisi penari sudah lintas agama dan mereka tidak risih" , kata Aekanu.

Pada tahun 1970-an kesenian hadrah Kuntulan muncul dengan keseniannya yang baru berupa Hadrah Kuntulan Caruk, yaitu dua kelompok grup hadrah Kuntulan saling bertemu dan berunjuk kebolehan, baik bidang tari, melantunkan syi'iran, dan permainan alat musiknya. Dari seni Caruk ini, kelompok mana yang dapat mengambil perhatian massa paling banyak, maka kelompok tersebutlah pemenangnya.

Prestasi Hadrah Kuntulan telah mengharumkan Banyuwangi dan propinsi Jawa Timur. Tercatat dalam pentas kesenian nasional Hadrah Kuntulan pernah menjadi pemenang dalam lomba Festival Nasional di Masjid Istiqlal Jakarta.

Kesenian hadrah Kuntulan juga sudah menancapkan kukunya di tingkat Internasional. Beberapa kali kesenian ini tampil di luar negeri. Beberapa waktu yang lalu, Hadrah Kuntulan tampil di Jepang dengan membawakan tembang rodad syi'iran, rodad tontonan dan berkolaborasi dengan Barongan.


Sumber :
roliandalas.blogspot.com
bambangpriantono.multiply.com


Kunjungi PUSAT BUDAYA BANYUWANGI, untuk detailnya.
Baca Selengkapnya >>

KEBO KEBOAN






Masyarakat Banyuwangi yang mayoritas petani memiliki ritual sakral untuk meminta berkah keselamatan. Tradisi tersebut dikenal dengan nama kebo-keboan. Ritual ini menggunakan kerbau sebagai sarana upacara. Namun, kerbau yang digunakan binatang jadi-jadian yakni manusia berdandan mirip kerbau, lalu beraksi layaknya kerbau di sawah.

Sejarah Kebo-Keboan


Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa). Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.

Munculnya ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya musibah pagebluk ( epidemi - red ). Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu, sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran.

Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.


Persiapan Upacara

Ritual yang meminta berkah keselamatan sebelum memulai musim tanam padi itu dimulai berbagai persiapan seperti memasang pintu gerbang terbuat dari hasil bumi, hingga menanam segala jenis pohon di tengah jalan. Tanaman inilah yang akan dilewati kerbau jadi-jadian. Pohon ditanam di sepanjang jalan menuju empat arah mata angin yang mengelilingi desa.

Bermacam tanaman hasil bumi menghiasai di tiap jalan kampung, sebagai simbol ungkapan syukur kepada penguasa alam Untuk mendapat kesan suasana persawahan, jalan desa pun dialiri air yang berasal dari sungai setempat. 12 tumpeng, simbol waktu perputaran kehidupan manusia yang disajikan dinikmati bersama-sama.

Berbagai pernik ornamen hiasan sudah terpajang, umbul-umbul, killing (baling-baling kicir angin), paglak (dangau tinggi di tengah sawah) terlihat megah di hamparan sawah dengan latar belakang Pegunungan Raung, Ijen, dan Gunung Merapi. Semua warga desa sudah siap dengan kue tradisional serta sesaji untuk upacara ritual. Hampir semua orang tampak anggun dengan busana adatnya.

Warga menyambut ritual ini mirip perayaan hari raya. Hari pelaksanaan upacara dihitung menggunakan kalender Jawa kuno. Biasanya kepastian itu diputuskan para sesepuh adat. Pada hari pelaksanaan, seluruh warga membuat tumpeng ayam.

Sesajen ini dimasak secara tradisional khas suku Using, yakni pecel ayam, daging ayam dibakar dan dicampur urap kelapa muda.
Menjelang siang hari, warga berkumpul di depan rumah masing-masing. Beberapa orang bergerombol di pusat desa bersama para pejabat dan undangan. Dipimpin sesepuh adat, warga berdoa menggunakan bahasa Using kuno. Usai berdoa, warga berebut menyantap tumpeng yang diyakini mampu memberikan berkah keselamatan.


Ritual Ider Bumi

Usai pesta tumpeng, ritual Kebo-Keboan ini diawali dengan visualisasi Dewi Sri ( Dewi Padi ) yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau ( sekujur tubuh mereka dilumuri arang plus rambut palsu warna hitam beserta tanduk, tidak lupa lonceng kayu berwarna hitam tergantung di leher layaknya kerbau ) dan dihalau oleh para petani yang membawa hasil panennya. Prosesi ini disebut sebagai ider bumi ( prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu kampung ). Namun sebelumnya, pawang kerbau memberikan tapung tawar agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan pada sikerbau jadi-jadian itu. Puluhan manusia kerbau diarak keliling kampung. Layaknya kerbau, mereka berlari dikendalikan seorang petani. Bau kemenyan dan bunga merebak. Sebelum keliling kampung, seluruh manusia kerbau dikumpulkan dan diberi ritual khusus ( seluruh "kerbau" dimandikan di sumber air tak jauh dari desa setempat. Biasanya, usai dimandikan mereka itu akan tidak sadarkan diri karena kemasukan makhluk gaib penunggu desa ). Puluhan kerbau jadi-jadian berjalan bergerombol. Jalan yang dilalui arak-arakan sengaja dibanjiri air. Tujuannya, kerbau yang lewat bisa berkubang. Polah tingkah mereka pun berubah layaknya kerbau. Menyeruduk siapa saja yang ada di depannya. Penonton pun berlarian menghindari serudukan "kerbau". Penonton yang tertangkap harus rela dilumuri arang hitam yang ada di sekujur tubuh "kerbau". Dalam kondisi tak sadar, mereka diarak diiringi gamelan angklung.

Iring-iringan berjalan pelan ke arah empat penjuru desa. Di masing-masing arah, ditempatkan sesaji simbol tolak-balak. Sesaji terdiri atas bunga dan berbagai jenis hasil bumi. Di belakang gerombolan kerbau, sebuah kereta terbuat dari berbagai hasil bumi ikut berjalan pelan. Ini adalah kereta yang ditumpangi Dewi Sri. Sesosok perempuan cantik duduk dikelilingi beberapa petani. Di depannya, empat perempuan tua membawa peralatan ke sawah. Ini simbol petani yang akan bekerja di sawah.

Selain iring-iringan kerbau dan kereta Dewi Sri, acara ritual ini juga melibatkan seluruh elemen di kampung, mulai dari laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak sampai sanak famili yang berada di luar kampung. Bahkan hampir seluruh kesenian adat suku Using yang ada di Banyuwangi juga terlibat. Ada gandrung, barong, janger, patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, dan wayang kulit,ada juga reog Ponorogo. Upacara ini tidak melulu seni pertunjukan terpadu tapi juga sebagai seni instalasi komunal yang memperlihatkan energi kualitas dan spiritual bersama.

Perjalanan arak-arakan berakhir di pusat kampung. Di tempat ini, Dewi Sri turun dari kereta dan memberikan berkah kepada petani. Sosok Dewi keberuntungan ini membagikan benih padi. Lagu pujian berkumandang mengagungkan kebesaran dewi kemakmuran ini. Selama ritual ini kerbau yang kesurupan berubah jinak. Mereka mendekat dan tunduk pada sosok Dewi Sri yang tersenyum ramah.

Kebo-keboan diakhiri dengan prosesi membajak sawah. Sepasang manusia kerbau menarik bajak di tengah sawah berlumpur. Layaknya kerbau asli, mereka berkeliling di hamparan sawah yang siap ditanami. Lalu, benih biji padi disebar. Warga langsung berebut biji yang baru disebar. Benih itu diyakini memberikan kesuburan.

Setelah berebut benih, warga, termasuk anak-anak, saling bergumul dengan manusia kerbau dalam lumpur. Mereka menikmati suasana sawah yang siap ditanami. Uniknya, saat penonton mengambil bibit padi itu, para "kerbau" mengamuk dan terus menyeruduk.
Kegiatan ini yang paling dinanti warga. Mereka akan puas setelah mendapat benih dan ikut berkubang dalam lumpur, papar Indra Gunawan yang mengaku keturunan ke-6 sesepuh Desa Alasmalang.

Nama Alasmalang berasal dari kata alas (hutan) dan malang (melintang). Alasmalang berarti hutan yang melintang di atas bukit panjang. Di tempat ini terdapat makam keluarga Mbah Karti dan keturunannya. Di sini terdapat batu mirip tempat tidur yang dikenal dengan nama watukloso. Batu ini dahulu tempat istirahat Mbah Karti. Hingga kini, sebagian besar warga Alasmalang adalah keturunan Mbah Karti.



Sumber :
Imam D.Nugroho_iddaily.net
hatisamudera.multiply.com
Majalah Travel Club
www.cybertokoh.com by arixs
Irul Hamdani - detikSurabaya




Kunjungi PUSAT BUDAYA BANYUWANGI, untuk detailnya.

Baca Selengkapnya >>

JARAN KENCAK PAJU GANDRUNG



Sejarah

Kesenian Jaran Kencak sebenarnya adalah kesenian asli Madura yang dipakai untuk bersenang-senang. Seiring penyebaran masyarakat Madura yang begitu besar di pulau Jawa, menjadikan kesenian Jaran Kencak juga mulai dikenal dan berkembang di Jawa Timur, termasuk di Banyuwangi.

Prosesi Dan Arti

Gending-gending jawa kuno ditabuh dari Gamelan pada suatu siang yang terik. Dua ekor kuda hitam, lengkap dengan kostum berwarna mencolok tiba-tiba masuk ke area pentas. Mengikuti aba-aba sang pelatih, kuda jenis sandel memperagakan aksinya, ditengah kerumunan penonton yang sudah memadati tempat mentas sejak pagi hari. Dua kuda itu mengangguk-angguk sembari mengepak-ngepakkan kakinya mengikuti tabuhan gamelan. Selain menari, dua kuda itu juga menunjukkan aksinya, duduk dan berdiri dengan dua kaki.

Setelah gending pertama dan kedua selesai dibawakan, para pesinden mulai bernyanyi gending-gending Tari Gandrung. Tak lama kemudian, seorang gadis berkostum Gandrung Banyuwangi masuk ke area pentas. Sang Gandrung menari-nari, sesekali mengibaskan selendang merahnya ke arah kuda. Seperti layaknya manusia, dua ekor kuda itu terlihat kompak menari bersama Gandrung mengikuti tabuhan gamelan hingga selesai.

Ilustrasi diatas adalah diskripsi singkat bagaimana jalannya Kesenian Jaran Kencak Paju Gandrung, saat ditampilkan oleh Masyarakat Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri. Sesuai namanya, kesenian ini mengkolaborasikan kesenian Jaran Kencak dengan Tari Gandrung Banyuwangi.

Sekilas penampilan kesenian rakyat ini cukup memukau, karena memperagakan kelincahan kuda-kuda Sandel dan Tarian Gandrung yang cukup populer bagi masyarakat paling ujung timur Pulau Jawa ini. Bukan hanya di Boyolangu, setiap kali ada pentas kesenian ini memang tidak pernah sepi penonton.

Selain kemahiran menari, daya tarik kesenian Jaran Kencak adalah kostum kuda yang berwarna mencolok. Seperti kemul (selimut/pelana) berwarna kuning keemasan, mahkota atau Jamang bercorak bunga warna warni, kalung dada, dan lengkap dengan ulur di sepanjang punggung kuda.

Rugito, salah satu pemilik kesenian ini mengatakan, Jaran Kencak berarti kuda-kuda yang lincah menari mengikuti lagu.
"Yang dinamakan kencak itu kan cara memainkan kaki bergantian. Jadi kakinya harus tepat mengikuti gendang. Bila gong besar berbunyi tanda lagu selesai maka kuda akan berhenti dengan sendirinya" Jelas Rugito yang baru 5 tahunan ini menekuni Kesenian Jaran Kencak.

Rugito menceritakan, untuk mendapatkan kuda-kuda yang pandai menari memang membutuhkan latihan khusus. Satu kuda membutuhkan waktu sekitar 1 bulan untuk bisa lincah menari dari musik yang diperdengarkan dari tape.
Kuda yang dipakai untuk kesenian ini berjenis Sandel yang biasa diperoleh dari Sumbawa. Jenis Sandel ini, kata Rugito, dipilih karena memiliki bentuk fisik lebih tinggi dibanding kuda-kuda biasa.

Menurut Rugito, setidaknya ada 15 orang di Banyuwangi yang memiliki Kuda Sandel. Mereka membentuk komunitas dengan menggelar arisan. Bagi yang memperoleh arisan tersebut, maka diwajibkan menggelar Kesenian Tari Kencak. Dalam perkembangan selanjutnya, kata Rugito, Kesenian ini marak ditanggap untuk acara sunatan.

"Tadinya Jaran Kencak ini untuk ngarak sunatan. Jadi anak yang sunat dinaikkan ke punggung kuda lalu diarak keliling kampung" . Namun lambat laun, semakin sedikit orang yang mau menanggap Jaran Kencak. Karena tidak begitu menjanjikan lagi, sebagian dari pemilik Jaran Kencak ada yang menjual kudanya dan beralih ke profesi lain. Dari sepinya peminat inilah, kata Rugito, sekitar 1990 muncullah ide dari seseorang penekun Jaran Kencak bernama Ahmad Bajuri, untuk mengkolaborasikan Jaran Kencak dengan Tarian Gandrung.

Nama keseniannya pun dirubah menjadi Kesenian Jaran Kencak Paju Gandrung. Lagu-lagu yang dimainkan, akhirnya juga memakai lagu gandrung. Yakni, Seblang Lukinto, Podho Nonton, Pacu Gandrung, Seblang Sebuh, Sekar Jenang, Kembang Pepe, Suntring-suntring, dan Kembang Dirmo. Sejak dirintis pertama kalinya hingga sekarang, perpaduan Jaran Kencak dengan Tari Gandrung mendapat respon yang besar dari masyarakat.

Sang Pencipta kolaborasi, Ahmad Baijuri menuturkan, idenya menggabungkan dua kesenian ini adalah untuk menyemarakkan Kesenian Jaran Kencak supaya lebih diminati masyarakat Banyuwangi. Apalagi saat itu, Tari Gandrung masih cukup digemari dan sering ditanggap. " Saya berharap, dengan memadukan Gandrung, Jaran Kencak lebih banyak ditonton orang," Harap Baijuri.

Kontroversi

Namun dilain sisi, Kesenian Jaran Kencak Paju Gandrung masih menyisakan kontroversi. Sebagian pihak menyayangkan perpaduan dua kesenian yang berbeda secara filosofi tersebut.

Sebagian pihak memang menilai Kesenian ini adalah hasil akulturasi Kesenian Jaran Kencak dengan Gandrung Banyuwangi. Namun, ide memadukan dua kesenian ini disayangkan oleh sebagian pihak lainnya. Fatrah Abal, salah satu Budayawan Banyuwangi mengatakan, Kesenian Gandrung memiliki nilai sejarah kepahlawanan yang tinggi. Itu nampak dari Gending-gending Gandrung, yang apabila diterjemahkan berisi seruan semangat untuk masyarakat Banyuwangi setelah kalah melawan Penjajah Belanda dalam perang Bayu tahun 1771.

"Kalau gendhing-gendhing Gandrung diserap maknanya, arti Gandrung sendiri adalah mengharapkan. Pada zaman dulu, pencipta kesenian Gandrung mengharapkan masyarakat banyuwangi yang tersisa 5 ribu akibat perang, kembali bersemangat dan tetap tinggal di Banyuwangi. Barangkali saja kalau tidak ada gandrung, mungkin orang banyuwangi akan habis, karena mati atau pergi", tutur Fatrah yang saat ini menyiapkan buku tentang Gendhing-gending Gandrung."

Menurut Fatrah, perpaduan dua kesenian ini terlalu dipaksakan, sehingga dapat digolongkan sebagai penyimpangan. Apalagi motif utamanya, kata Fatrah, hanya untuk komersial, sehingga tidak memiliki makna berarti kecuali sekedar menjadi tontonan.
Namun, menurut Fatrah, baik buruknya kesenian ini tetap ia serahkan kepada masyarakat. Tugas para peggiat Budayalah, katanya, yang harus berperan untuk memberikan pemahaman tentang keberadaan Tarian Gandrung yang telah ditetapkan menjadi maskot Banyuwangi.




Sumber :
ikaning.wordpress.com


Kunjungi PUSAT BUDAYA BANYUWANGI, untuk detailnya.
Baca Selengkapnya >>

JANGER






Teater Janger atau kadang disebut Damarwulan atau Jinggoan, merupakan pertunjukan rakyat yang sejenis dengan ketoprak dan ludruk. Pertunjukan ini hidup dan berkembang di wilayah Banyuwangi, Jawa Timur serta mempunyai lakon atau cerita yang diambil dari kisah-kisah legenda maupun cerita rakyat lainnya. Selain itu juga sama-sama dilengkapi pentas, sound system, layar/ tirai, gamelan, tari-tarian dan lawak. Serta pembagian cerita dalam babak-babak yang dimulai dari setelah Isya hingga menjelang Subuh.

Sejarah
Pada abad ke-19, di Banyuwangi hidup suatu jenis teater rakyat yang disebut Ande-Ande Lumut karena lakon yang dimainkan adalah lakon Andhe-Andhe Lumut. Dan dari sumber cerita dari mulut ke mulut, pelopor lahirnya Janger ini adalah Mbah Darji, asal Dukuh Klembon, Singonegaran, Banyuwangi kota. Mbah Darji ini adalah seorang pedagang sapi yang sering mondar-mandir Banyuwangi-Bali, dan dari situ dia tertarik dengan kesenian teater Arja dan dia pun berkenalan dengan seniman musik bernama Singobali yang tinggal di Penganjuran, dari situlah kemudian terjadi pemaduan antara teater Ande-Ande Lumut dengan unsur tari dan gamelan Bali, sehingga lahirlah apa yang disebut Damarwulan Klembon atau Janger Klembon.
Semenjak itu, mulai lahir grup-grup Damarwulan di seantero Banyuwangi. Mereka bukan hanya memberikan hiburan, namun juga menyisipkan pesan-pesan perjuangan untuk melawan penjajah dengan kedok seni. Di masa revolusi, kerap kali para pejuang kemerdekaan menyamar sebagai seniman Janger untuk mengelabui Belanda dan para mata-matanya.
Menurut Dasoeki Nur, seorang pelaku kesenian Janger, teater ini juga sempat berkembang hingga melampaui wilayah Banyuwangi sendiri. Bahkan menurutnya lagi, pada tahun 1950an pernah berdiri dua kelompok Janger yang berada di wilayah Samaan, dan Klojen, kota Malang.


Paradoks Karakter Minakjinggo
Dalam wacana masyarakat Banyuwangi, karakter Minakjinggo digambarkan sangat berlawanan dengan apa yang diyakini masyarakat Jawa pada umumnya (berdasarkan cerita-cerita seperti Serat Damarwulan). Digambarkan Minakjinggo merupakan sosok yang bertemperamen buruk, kejam dan sewenang-wenang. Disamping buruk rupa, pincang, suka makan daun sirih dan lancing meminang Sri Ratu Kencanawungu (Ratu Majapahit).
Menurut pandangan masyarakat Banyuwangi, Minakjinggo digambarkan sebagai sosok yang rupawan, digandrungi banyak wanita, arif, bijaksana dan pengayom rakyatnya. Mengapa Minakjinggo memberontak? Menurut para sesepuh Banyuwangi itu lebih dikarenakan dia menagih janji Kencana Wungu untuk menjadikannya suami, setelah mampu mengalahkan Kebo Marcuet, dan dimenangkan oleh Minakjinggo. Wajah Minakjinggo menjadi rusak karena terluka pada saat bertarung dengan Kebo Marcuet, dan demi melihat wajah Minakjinggo yang rusak, maka Kencana Wungu menolak dan akhirnya Minakjinggo memberontak.
Pandangan inilah yang berupaya diluruskan, mengingat citra Minakjinggo yang buruk dalam catatan legenda Serat Damarulan. Keabsahan Serat Damarwulan dengan legenda-legendanyapun masih simpang siur, dan data masih kurang lengkap.


Keunikan Teater Janger
Teater Janger Banyuwangi ini merupakan salah satu kesenian hibrida, dimana unsure Jawa dan Bali bertemu jadi satu didalamnya. Gamelan, kostum dan gerak tarinya mengambil budaya Bali, namun lakon cerita dan bahasa justru mengambil dari budaya Jawa. Bahasa yang dipergunakan dalam kesenian ini adalah bahasa Jawa Tengahan yang merupakan bahasa teater ketoprak. Namun pada saat lawakan, digunakan bahasa Using sebagai bahasa pengantar. Lakon ceritanya pun justru diambil dari Serat Damarwulan yang dianggap penghinaan terhadap masyarakat Banyuwangi, yang anehnya malah berkembang subur.


Lakon atau Cerita

Lakon atau cerita yang akan dipentaskan, disesuaikan dengan permintaan penanggap atau scenario kelompok itu sendiri. Lakon yang paling banyak dipentaskan antara lain, Cinde Laras, Minakjinggo Mati, Damarulan Ngenger, Damarulan Ngarit, dan lain sebagainya. Selain dari cerita panji, lakon juga diambil dari legenda rakyat setempat seperti Sri Tanjung.


Busana

Busana pemain disesuaikan dengan peran mereka. Pada peran prajurit, raja, panglima dan tokoh kalangan atas biasanya menggunakan busana khas Bali yang biasa dipakai dalam pertunjukan Arja. Sedangkan kaum wanita istana memakai busana Bali yang dimodifikasi, yakni kuluk yang dihias bunga kamboja dengan manik-manik, ter atau penutup dada, dan biasanya memakai kain jarit berwarna mengkilap. Yang unik, peran rakyat jelata justru memakai busana khas Jawa.


Tari pengiring

Tari-tarian yang menjadi pengiring dalam pertunjukan Janger ini bervariasi. Bisa dibuka dengan tari-tarian khas Bali, seperti pendet, legong, baris , atau tari-tarian khas Banyuwangi seperti Jejer Gandrung, Jaran Goyang, Seblang Lokento dan lain sebagainya.


Perkembangan saat ini

Diperkirakan ada sekitar 60an kelompok Janger yang masih eksis saat ini. Meski kondisinya memang senin-kamis, sebagai dampak modernisasi yang makin marak. Kelompok Janger Banyuwangi yang cukup popular di wilayah tersebut antara lain Temenggung Budoyo dari kota Banyuwangi, Madyo Utomo dari desa Bubuk, Kec. Rogojampi, dan Patoman dari desa Blimbingsari, Kec. Rogojampi.


Sumber :
id.wikipedia.org
hatisamudera.multiply.com


Kunjungi PUSAT BUDAYA BANYUWANGI, untuk detailnya.
Baca Selengkapnya >>

SEBLANG








Mitos Antara Seblang Dan Dewi Sri

Tari Seblang bukanlah satu-satunya tari tradisional Indonesia yang diadakan sebagai ungkapan rasa syukur atas kesuburan tanaman yang mereka peroleh. Dalam budaya Jawa-Mataraman dikenal yang namanya upacara Bersih Desa. Pada budaya Jawa non-Mataraman, dikenal pula upacara Sedekah Bumi. Di Bugis-Makassar, ada upacara bernama Mappalili. Dalam budaya Suku Dayak Kenyah yang berada di Kalimantan Timur ada pula upacara kesuburan yang disebut Lepeq Majau. Di Bali ada upacara Mungkah, Mendak Sari atau Muat Emping Ngaturan Sari.

Simbol kesuburan dilambangkan dengan sesosok dewi cantik jelita bernama Dewi Sri. Lain daerah, lain pula nama simbol padi dan kesuburannya. Dalam budaya Jawa, ada simbol yang bernama Nini Thowok. Pada budaya Sunda, dikenal dewi bernama Nyi Pohaci Sangiang Sri Dangdayang Tisnawati. Pada budaya Dayak, simbol padi dan kesuburan dilambangkan dengan penokohan Bini Kabungsuan.

Tokoh Dewi Sri dalam budaya kesuburan adalah sakral. Folklore tiap daerah pun mempunyai versi yang berbeda tentang Dewi ini. Dalam folklore Sunda, Dewi Sri lahir dari sebutir telur dari air mata seorang Dewa cacat bernama Dewa Anta. Konon, saking cantiknya sang Dewi, raja para Dewa; Bathara Guru, jatuh cinta dan ingin mengawininya. Namun niat itu digagalkan oleh dewa lain dengan cara membunuh Dewi Sri dan menguburkannya di bumi. Beberapa hari kemudian, dari kuburannya muncul beberapa jenis tanaman pangan. Dari bagian kepala, munculah kelapa. Dari bagian mata, tumbuh padi biasa. Dari dadanya, muncullah padi ketan. Dari kemaluannya tumbuh pohon enau dan dari bagian lain muncullah rerumputan. Kejadian di daerah lain, hampir sama, yakni sosok sentral wanita meninggal. Lalu dari kuburannya muncul tanaman-tanaman pangan.
Bukan hanya di Indonesia, Curt Sarch sang penulis buku World History of the Dance mengungkapkan bahwa jauh sebelum Masehi, para Shaman telah menciptakan hujan dengan ritual tari gembira. Kalau anda penasaran seperti apa ghost dance atau rain dance ini, tengoklah sosok Jim Morrison saat sedang tampil di atas panggung dan dalam keadaan trance. Morrison yang terobsesi dengan budaya Indian akan menari-nari liar. Itulah ghost dance.

Di suku Amazon , ada tari bernama Tari Itogapuk. Tari ini membentuk gerakan laki-laki dan perempuan yang saling bersatu, melingkari sebuah tanaman, saling menempelkan pinggul lalu sang penari perempuan digendong untuk kemudian dibawa pergi.

Ben Suharto, sang penulis buku Tayub; Pertunjukan dan Ritus Kesuburan, mengungkapkan bahwa tari ritual kesuburan selalu berusaha mencapai suatu sikap mistis tentang seksual dengan cara mendekatkan manusia berbeda kelamin atau dengan cara saling melingkari.

Tari Seblang pun, melambangkan kesuburan dengan simbol mahkota yang dipakai oleh sang penari yang dihias dengan kembang aneka warna yang melambangkan kesuburan.
Satu kesimpulan yang bisa ditarik dari sini adalah betapa wanita merupakan sosok penting dalam mitos kesuburan, baik kesuburan tanaman maupun kesuburan reproduksi.
Seperti terdapat pada petikan dari sebuah naskah kuno bernama Atharvaveda yang berbunyi "Perempuan datang sebagai lahan hidup; taburkanlah benih ke dalamnya, oh para lelaki."

Ritual Seblang

Pada awalnya kesenian Seblang merupakan bentuk kesenian berdasarkan mithologi, konon seblang adalah sisa dari kebudayaan para Hindu yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia pada masa lampau.

Menurut cerita dahulu Seblang dilakukan di setiap desa di Banyuwangi , sekarang hanya dapat dijumpai di dua desa dalam lingkungan kecamatan Glagah, Banyuwangi, yakni desa Bakungan dan Olihsari ( Olehsari ). Walaupun ada beberapa perbedaan diantara keduanya, tetapi pada dasarnya berintikan sama, yaitu : memanggil Roh Halus untuk menari melalui wadag seorang perempuan.

Upacara Seblang biasa dilakukan di pedesaan, konon pada abad ke XVI pernah dipindahkan ke istana oleh seorang bangsawan Blambangan yang bernama LOKENTO. Tetapi Seblang yang dilakukan di Pendopo Kadipaten dan dikenal orang dengan nama "Seblang Lokento" itu kini telah musnah.

Ritual ini dilaksanakan untuk keperluan bersih desa dan tolak bala, agar desa tetap dalam keadaan aman dan tentram. Ritual ini sama seperti ritual Sintren di wilayah Cirebon, Jaran Kepang, dan Sanghyang di Pulau Bali.
Penyelenggaraan tari Seblang di dua desa tersebut juga berbeda waktunya, di desa Olihsari diselenggarakan satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang bersebelahan, diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha.
Para penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya penari harus dipilih dari keturunan penari seblang sebelumnya. Di desa Olihsari, penarinya haruslah gadis yang belum akil baliq, sedangkan di Bakungan, penarinya haruslah wanita berusia 50 tahun ke atas yang telah mati haid (menopause).
Tari Seblang ini sebenarnya merupakan tradisi yang sangat tua, hingga sulit dilacak asal usul dimulainya. Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa Seblang pertama yang diketahui adalah Semi, yang juga menjadi pelopor tari Gandrung wanita pertama (meninggal tahun 1973). Setelah sembuh dari sakitnya, maka nazar ibunya (Mak Midah atau Mak Milah) pun harus dipenuhi, Semi akhirnya dijadikan seblang dalam usia kanak-kanaknya hingga setelah menginjak remaja mulai menjadi penari Gandrung.

Tari Seblang ini dimulai dengan upacara yang dibuka oleh sang dukun desa atau pawang. Sang penari ditutup matanya oleh para ibu-ibu yang berada dibelakangnya, sambil memegang tempeh (nampan anyaman dari bambu). Sang dukun mengasapi sang penari dengan asap dupa sambil membaca mantera. Setelah sang penari kesurupan (taksadarkan diri atau kejiman dalam istilah lokal), dengan tanda jatuhnya tempeh tadi, maka pertunjukan pun dimulai. Si seblang yang sudah kejiman tadi menari dengan gerakan monoton, mata terpejam dan mengikuti arah sang pawang atau dukun serta irama gendhing yang dimainkan. Kadang juga berkeliling desa sambil menari. Setelah beberapa lama menari, kemudian si seblang melempar selendang yang digulung ke arah penonton, penonton yang terkena selendang tersebut harus mau menari bersama si Seblang. Jika tidak, maka dia akan dikejar-kejar oleh Seblang sampai mau menari.

Musik pengiring Seblang hanya terdiri dari satu buah kendang, satu buah kempul atau gong dan dua buah saron. Sedangkan di Olihsari ditambah dengan biola sebagai penambah efek musikal.
Dari segi busana, penari Seblang di Olihsari dan Bakungan mempunyai sedikit perbedaan, khususnya pada bagian omprok atau mahkota.

Pada penari Seblang di desa Olihsari, omprok biasanya terbuat dari pelepah pisang yang disuwir-suwir hingga menutupi sebagian wajah penari, sedangkan bagian atasnya diberi bunga-bunga segar yang biasanya diambil dari kebun atau area sekitar pemakaman, dan ditambah dengan sebuah kaca kecil yang ditaruh di bagian tengah omprok.
Pada penari seblang wilayah Bakungan, omprok yang dipakai sangat menyerupai omprok yang dipakai dalam pertunjukan Gandrung, hanya saja bahan yang dipakai terbuat dari pelepah pisang dan dihiasi bunga-bunga segar meski tidak sebanyak penari seblang di Olihsari. Disamping unsure mistik, ritual Seblang ini juga memberikan hiburan bagi para pengunjung maupun warga setempat, dimana banyak adegan-adegan lucu yang ditampilkan oleh sang penari seblang ini.
Upacara kesenian ritual Seblang adalah salah satu bentuk tradisi tari sakral yang bermotivasikan agraris spiritual. Bertujuan untuk kemakmuran masyarakat, dengan mengupayakan kesuburan tanah atau mengusir penyakit. Dengan mengadakan Seblang, masyarakat setempat akan terhindar dari malapetaka.



Seblang Bakungan

History

Warga Kelurahan Bakungan sudah lama menggelar Ritual Seblang, agar dijauhkan dari segala marabahaya, mereka menggelar ritual seblang semalam suntuk, yakni, ritual tarian yang diperankan seorang wanita tua berusia lanjut. Tradisi ini sudah ada sejak 316 tahun silam.

Konon, mereka yang membuka perkampungan Bakungan berasal dari Bali. Bakungan adalah salah satu nama tumbuhan yang banyak hidup di tempat itu. Dahulu, Bakungan adalah sebuah hutan belantara yang banyak ditumbuhi tanaman bakung.

'Seblang' berasal dari bahasa Using kuno yang berarti hilangnya segala permasalahan dan kesusahan. Upacara ini diawali selamatan massal yang dilakukan sesaat setelah matahari terbenam. Seluruh warga duduk di depan rumah masing-masing sambil mempersembahkan tumpeng yang terdiri atas beberapa jenis makanan khas. Di antaranya, pecel ayam, yaitu daging ayam yang dicampur urapan kelapa muda. Sehari sebelumnya, beberapa tokoh masyarakat melakukan ritual minta izin di makam buyut Witri. Dia diyakini sebagai leluhur masyarakat kelurahan Bakungan. Di tempat ini, warga meminta doa sambil mengambil air suci. Air ini nantinya digunakan penari seblang untuk penyucian dan disebarkan kepada seluruh warga kampung.
Sebelum santap tumpeng, dukun membacakan doa-doa khusus menggunakan bahasa Using. Isinya meminta seluruh penguasa jagat memberikan kerahayuan kepada seluruh masyarakat. Suasana terasa mistis ketika aroma kemenyan yang ditaburkan dukun menyebar ke seluruh arena seblang. Setelah itu, ketua adat memukul kentongan berkali-kali sebagai pertanda selesainya upacara tumpengan. Warga menyambut dengan pekikan ayat-ayat suci Alquran. Setelah itu seluruh warga menyantap tumpengnya masing-masing. Selama selamatan, seluruh anggota keluarga berkumpul di halaman rumahnya.

Sebelumnya, warga laki-laki bersama para pemuda berjalan keliling desa sambil membawa obor. Ritual ini dimaksudkan untuk mengusir roh jahat yang akan mengganggu desa. Mereka mengumandangkan ayat-ayat suci Alquran. Sekitar pukul 19.30, ritual seblang dimulai. Acara ini diawali memanggil roh yang akan masuk ke dalam tubuh penari. Setelah diberi mantra khusus, penari kesurupan. Penari ini keturunan asli mbah buyut Witri yang diyakini leluhur warga Bakungan, kata sesepuh adat Bakungan, Yalin.


Prosesi Ritual Seblang Bakungan

Selayaknya ritual lain, secara detail Tari Seblang Bakungan pun memiliki beberapa tahapan sebelum mencapai ritual puncak. Inilah urutan ritual yang harus dijalankan :

1. Penari Seblang dirias dan mengenakan busana tarinya. Pada bagian tubuh dan wajahnya, dibaluri sejenis tepung batu halus berwarna kuning (biasa disebut atal ) yang dicampur dengan air. Lalu sang penari pergi berjalan menuju arena dengan beberapa penyanyi perempuan dan pemilik hajat.

2. Pada tahapan kedua ini, sang penari dikenakan mahkota yang dihias beraneka bunga dengan beragam warna. Tak lupa, sang penari memegang nyiru dengan tangannya. Lalu ada seorang perempuan tua yang menutup mata sang penari dengan tangannya. Setelah itu ada sang pawang yang membakar dupa serta merapal mantra untuk memanggil dhanyang (roh penjaga desa) yang dikenal dengan nama Buyut Kethut, Buyut Jalil, dan Buyut Rasio agar memberkahi pertunjukan Seblang ini. Saat nyiru yang dipegang penari Seblang itu jatuh, maka dia sudah mulai kejiman alias kesurupan.

3. Tahap ketiga, adalah tahap pemilihan lagu untuk mengiringi sang penari. Ada kalanya, lagu yang dimainkan tidak disetujui oleh sang penari yang sudah trance ini. Kalau sang penari setuju, maka ia akan berdiri dan menari dengan gemulai berlawanan dengan arah jarum jam. Kalau tidak setuju, dia tidak mau berdiri serta memberi isyarat agar sang pengiring memainkan lagu lain. Kadang kala, disaat jeda pemilihan lagu dan sang penari beristirahat, disisipkan pula ritual sabung ayam.

4. Setelah ritual tari berhenti sejenak, maka ada beberapa gadis cantik dengan kebaya memegang kembang dirma yakni bunga beraneka warna yang dipercayai bisa mendatangkan berkah. Lalu bunga ini diberikan pada penonton, lalu penonton memberikan derma uang ala kadarnya.

5. Tahapan ini disebut tundik dan beberapa menyebutnya Ngibing, yakni saat dimana sang penari mengajak penonton untuk ikut menari. Cara memilih penontonnya unik, yakni sang penari Seblang melemparkan sampur pada penonton. Siapa yang ketiban sampur itu harus menari bersama penari Seblang. Suasana menjadi ramai dan penuh tawa saat penonton lari berhamburan menghindari sampur yang dilempar itu.

6. Inilah titik puncak dari upacara Seblang. Saat sang pengiring memainkan lagu Candradewi yang dimainkan dengan cepat, sang penari juga berputar dengan cepat. Lalu sang penari rebah dan tergeletak menelungkup. Saat ini petugas kembali meminta derma dari para penonton.

Seusai pertunjukkan, ada satu ritual lain yang tak afdol rasanya jika tak diikuti. Yakni acara berebutan sesajen hasil pertanian yang digantung di beberapa bagian kantor balai desa. Ada durian, padi, alpukat, sirsak, pisang hingga kelapa.








Seblang Olehsari


History

Menurut catatan di buku historis di Desa Olehsari, Seblang pernah tidak diselenggarakan antara tahun 1943 s/d 1956. Bagi masyarakat Olehsari ketiadaan acara Seblang seperti merasa kehilangan sesuatu. Pageblug terjadi, panen banyak gagal dan serangan penyakit terhadap ternak dan manusia tak terhindarkan. Maka pada tahun 1957 acara tersebut dimulai lagi. Konon suasana jadi pulih.

Prosesi Ritual Seblang Olehsari

Masih dalam suasana Lebaran, di Desa Olehsari (sekitar 5 km sebelah barat Kota Banyuwangi) diselengarakan acara adat tahunan Seblang. sebenarnya tak begitu sulit mencari lokasi karena arena, karena dari kejauhan sudah terdengar musik gamelan yang "ngelangut' sekakan-akan memanggil siapa saja untuk datang.

Walaupun prosesi dilaksanakan pada siang yang cukup terik, disekeliling arena telah berjubel masyarakat yang akan mengikuti acara Seblang. Dahulu diantara kerumunan penonton itu selalu dibuka jalur yang disediakan untuk jalan tamu gaib yang naik kuda. Juga disediakan kursi-kursi kosong. Siapapun tak berani menginjak jalur atau menduduki kursi tersebut, karena untuk tamu-tamu gaib.

Di pusat upacara tampak sebuah tonggak berupa tongkat panjang yang ditempel batang tebu segar. Disisi tonggak tertanam kokoh sebuah Payung Agung. Selain berfungsi sebagai sebagai tempat Pemain Musik, sepertinya juga merupakan ekspresi Yoni, yaitu sentral kegiatan upacara yang bersifat metafisic tersebut.

Di sebelah barat, tak kurang 8 (delapan) orang wanita setengah baya yang bertindak sebagai penyanyi (sinden) duduk di sebuah gubuk tak berdinding, siap mengiringi Penari Seblang. Pada gubuk yang beratapkan daun nyiur tersebut, bergelantungan puluhan buah-buahan dan Poro-Bungkil (hasil bumi) yang merupakan simbolis kemakmuran desa.

Tak lama muncullah seorang gadis yang berpakaian aneh. Dengan wajah bercadarkan rumbai-rumbai daun pisang muda dituntun oleh seorang wanita setengah baya, seraya diiringi oleh puluhan orang menuju ke pusat kegiatan upacara. Salwati (16 tahun), gadis penari seblang itu pelan-pelan dituntun dan didudukkan di dekat "prapen" empat asap kemenyan mengepul...

Seorang dukun atau pawang paling tua, Mbah Asnan (70 tahun), tampak membolak-balikan nyiru kecil diatas pedupaan seraya berkomat-kamit mebacakan mantra. Mendadak nyiru kecil tersebut disorongkan ke arah Salwati. Saat Salwati menerima Nyiru itu, seketika itu iapun terkulai lemas tak sadarkan diri.

Diiringi oleh para pawang sebanyak 5 (lima) orang, terdiri dari 3 (tiga) pria dan 2 (dua) wanita kesemuanya berusia lanjut. Salwati menjadi 'kejimen' (baca : in-trance) dan menari gontai dengan indahnya. Terdengar mengalun gending pembuka 'Seblang Lokento' Salwati terus menari mengelilingi arena yang luasnya 7 x 7 meter mengitari tonggak dan payung. "Seblang yo Lokento sing dadi encakono ..." berulang-ulang dinyanyikan oleh para pesinden dengan antusias penuh riang.

Dengan mata terpejam,penari seblang sesekali seperti mengajak bercanda para penonton dengan mengibas-ngibaskan selendangnya.Ketika itu pula penonton memberi semangat dengan seloroh-seloroh bernada canda.Sang penaripun menyambut canda manis itu dengan goyangan pinggulnya yang indah.

Disaat rombongan koor mendendangkan tembang 'Kembang Dirmo' saat itu pula susunan bunga-bungaan aneka warna yang terdiri dari 5 (lima)sampai 7 (tujuh) kembang yang disusun dalam tusukan lidi mirip sate, dijajakan kepada penonton. Maka berebutlah para muda mudi membelinya. Karena kabarnya cukup bertuah untuk urusan cinta asmara.Adegan lain yang juga tak kurang menarik adalah atraksi 'Ngibing'. Ini terjadi di hari ketiga dan seterusnya dari 7 (tujuh) hari pementasan seblang. Sang penari seblang oleh para pawang tubuhnya diangkat dan ditempatkan diatas sebuah meja yang tersedia,sehingga tampak lebih tinggi dari penonton. Mendadak penari tersebut melemparkan sampur ke arah penonton. Siapa saja yang tertimpa selendang (biasanya laki-laki), haruslah bersedia menari bersama dengan sang penari Seblang. Pada acara yang cukup atraktif tersebut, begitu seseorang selesai 'ngibing' dengan penari Seblang, maka dliemparlah berulang kepada yang lain. Sehingga berkesan bergiliran.

Anehnya saat senja turun, terjadi adegan yang cukup mengharukan hati. Penari Seblang tampak memperlihatakan kegirangannya tatkala gending "Chondro Dewi" dinyanyikan. Dengan suka citanya, penari Seblang mencapai puncak orgasme tariannya. Karenanya, ia menjadi kelelahan dan kemudian terkulai pingsan ....

Tetapi ajaib, begitu lagu "Erang-erang" berkumandang, secara fantastic kekuatan lagu sendu itu seakan membangkitkan kembali sang penari dari pingsannya. Menurut beberapa sumber, membangkitkan kembali dari pingsannya adalah pekerjaan sulit bagi "Pengutuk" (pawang) yang merupakan mediator dengan mahluk halus tersebut. Harus dilakukan extra hati-hati, karena merupakan pekerjaan yang sulit dan berbahaya. Khabarnya jika tidak berhasil maka sang penari bisa kehilangan nyawa.

Akhirnya ketika Matahari nyaris lenyap di balik Pegunungan Ijen, berkumandanglah tembang penutup yang berbunyi : "Sampun Mbah Ktut sare sampun osan, yang kundangan yang muleh-muleh". Artinya kurang lebih demikian : "Sudahlah Mbah Ketut, acara sudah berakhir, pengunjung sudah akan pulang". Begitu usai diulang-ulang sebayak 10 (sepuluh) kali, sang penari Seblang tampak sadar kembali layaknya orang bangun dari tidurnya. Terbersit raut kebingungan di rona penari. Sesekali ia menyingkap rumbai-rumbai daun yang menatap wajahnya, Salwati tampak pucat pasi. Padahal keesokan harinya ia harus bertugas menari lagi sampai genap 7 (tujuh) hari.

Menonton Seblang di Olehsari tahun ini, ada satu hal yang sangat menarik. Seperti diketahui, prosesi penunjukkan kandidat penari Seblang juga tak luput dari aspek kekuatan supranatural. Setiap bulan puasa menjelang hari raya Lebaran, gergiliran salah satu ibu rumah tangga yang biasanya berusia 30 (tiga puluh) tahun ketas kesurupan. Tahun ini adalah Mbok Sutrinah, yang diluar kesadarannya menyebut-neyebut nama Wiwin berulang-ulang. Itu berarti Wiwin adalah anak perawan yang tiba bergiliran menjadi penari Seblang tahun ini.

Tetapi diluar dugaan, Wiwin yang ditunjuk oleh Roh Halus sebagai penari Seblang tahun ini justru tidak bersedia. Mengapa sampai demikian ? Tidak takutkah dia terhadap Roh Halus ? Seorang pemuda yang saya temui di arena pertunjukkan mengatakan : "Wiwin, heng oleh ambi sir-siranek !!". "Wiwin tidak boleh (menari) sama pacarnya" demikian ujarnya sambil menikmati pertunjukan Seblang.

Semenjak dahulu, penari Seblang selalu memiliki garis keturunan dengan penari-penari Seblang sebelumnya. Sehingga, karena warga takut dengan batalnya acara sakral tersebut, Salwati (yang masih bersaudara dengan Wiwin) dibujuk menggantikannya. Dengan penuh kesadaran Salwati akhirnya bersedia. Ditanya tentang konsekwensi ketidak sediaan WIwin sebagai penari tahun ini, seorang tetua mengatakan : "Kadung ono paran-paran, ison heng ero jawanek !!" Artinya : "Jika ternyata terjadi sesuatu, saya tidak tahu menahu !!' Belakangan ada isyu yang terdengar, Wiwin mengalami "Stress dan depresi yang aneh".

Lagi Perbedaan dengan Seblang Bakungan

Secara awam jika kita perhatikan sepintas, prosesi penyelenggaraan Seblang di Bakungan tidaklah jauh berbeda dengan di Olehsari. Meskipun jelas banyak sekali terdapat perbedaan jika kita tinjau lebih mendalam.

Di Bakungan persiapan Seblang dimulai dengan mempersiapkan sesaji dan membersihkan benda-benda pusaka di "Balai Tajuk". Disusul dengan pawai obor "Ider bumi" dengan mengumandangkan Adzan, Istigfar dan doa Qunut. Tak ketinggalan "selamatan kampung" dengan sajian berupa Nasi Putih dengan lauk Ayam Panggang yang dicampur kukuran kelapa dengan sayuran terung, pakis dan kacang panjang yang tidak boleh dipotong-potong.

Waktu penyelenggaraan tidaklah sama, di Olehsari dilakukan disekitar 3 (tiga) hari setelah Hari Raya Lebaran, dan pertunjukan dilakukan sejak Mentari diatas kepala sampai dengan lenyap dari pandangan mata. Tetapi di Kelurahan Bakungan, upacara dilaksanakan malam hari, selepas magrib sampai pukul 24.00 tengah malam, dimalam Senin atau malam Jum'at pertama bulan Haji (Besar).

Penunjukkan Siapa bakal penari Seblang di Kelurahan Bakungan dilakukan atas dasar 'wisik gaib' yang diterima Sang Pawang, bukan lewat seorang ibu setengah baya yang kesurupan sepertihalnya di Desa Olehsari. Dan penari Seblang di Bakungan dilakukan oleh seorang janda tua, bukan seorang anak perawan yang baru akil balik.

Beberapa hal yang berbeda lagi antara keduanya adalah mengenai "Omprok" (mahkota) dan Gamelan. Di Kelurahan Bakungan, Omprok penari dibuat secara permanen dari tahun ke tahun. Berlainan di Desa Olehsari, setiap penampilan selalu dibuatkan Omprok baru, sebab bahannya terbuat dari daun pisang yang cepat layu.

Sedangkan untuk instrumen musik pendukung pada Seblang Bakungan menggunakan perangkat Gamelan Jawa laras Selendro dan terkadang ditambahkan Biola. namun berlainan dengan di Olehsari yang mempergunakan 'Instrumen banyuwangi' yang terdiri dari : Kendang, Gong, Peking, Slenthem dan Biola.

Kemudian karena penari Seblang di Bakungan menari dengan membawa keris yang terhunus, sehingga di acara penutup terdapat prosesi "Manjer Keling" yaitu penari Seblang menari seraya mengadu dua Keris yang dipegangnya. Seblang di Olehsari tidak terdapat fase prosesi ini.


Sumber :
ravindata.multiply.com
nurannuran.wordpress.com & Andrey Gromico_Photo
hatisamudera.multiply.com
hasyim.komonduya.com
www.cybertokoh.com by arixs
wikipedia



Kunjungi PUSAT BUDAYA BANYUWANGI, untuk detailnya.
Baca Selengkapnya >>